BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Syariat Islam wajib di lakukan bagi
umat Manusia. Dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan tersebut adalah al-Qur’an
dan as-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf dapat menggali kedua sumber tersebut
untuk di jabarkan ke dalam kegiatan kehidupannya, karena melihat kenyataan
bahwa manusia ini berbeda tingkat intelektualitasnya dalam setiap bidang dan
mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh seorang penggali hukum
(mujtahid).
Akibatnya tidak semua manusia
mendapatkan ketentuan hukum dari sumber aslinya, tetapi melalui para mujtahid
yang sanggup mengistimbatkan hukum dari sumber aslinya itu.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang di
maksud dengan Qadariyah mu’tazilah …..?
2. Bagaimana
perspektif antara Qadariyah Mu’tazilah, Jabariyah dan ahl sunnah itu bisa
terjadi ……?
3. Seperti apa
pemahaman Kaum Jabariyah terhadap sifat-sifat tuhan…..?
C.
TUJUAN
Untuk
memahami tentang Perspektif masing-masing faham, seperti Qadariyah Mu’tazilah,
Jabariyah dan ahlus sunnah wal Jamaah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SIFAT-SIFAT
TUHAN
1. Sifat Tuhan
Menurut Perspektif Qadariyah-Mu’tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah
dengan kaum Asy’ariah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan
memiliki sifat atau tidak. Jika tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal
seperti halnya dengan Zat Tuhan. Dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal,
maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya
sifat-sifat akan membawa kepada paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’
atau multiplucuty of eternals). Dan ini selanjutnya akan membawa
pada paham syrik atau paolytheisme. Suatu hal yang tak dapat di
terima oleh teologi.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan
persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Definisi
mereka tentang Tuhan, sebagaimana di jelaskan oleh al-Asyari’, bersifat
negatif. Tuhan tidak memiliki pengetahuan, tidak memiliki kekuasaan, tidak
memiliki hajat dan sebagainnya[1].
Ini tidak berarti bahwa tuhan bagi mereka tidak mengetahui, berkuasa dan
sebagainya tetapi berkuasa, mengetahui dan sebagainya bukanlah sifat dalam
artian yang sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui” kata abu al-Huzail, ialah Tuhan
mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan
sendiri[2].
Sedangkan menurut Al_Jubba’i, ialah untuk mengetahui tuhan tidak berhajat
kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Abu Hasyim
sebaliknya berpendapat bahwa arti Tuhan mengetahui melalui Esensinnya, ialah
Tuhan mempunyai keadaan mengetahui. Namun sesungguhnya mereka para
pemuka-pemuka kaum Mu’tazilah tersebut sepakat bahwa Tuhan tidak mempunyai
Sifat.
Kaum
Mu’tazilah juga membawa dalil-dalil Al-Quran di antarannya:
لاتد ركه
الابساروهويد رك الابصاروهوالطيفالخبير
Menurut
ayat ini Tuhan tidak dapat di tangkap penglihatan. Tegasnya Tuhan tidak akan
dapat dilihat. Tetapi menurut kaum Asy’ariah, yang di maksud di sini Tuhan
tidak dapat di lihat di Dunia dan bukan di maksud di akhirat[3].
2. Sifat Tuhan
Menurut Perspektif Jabariyah
Tokoh-Tokoh Jabariyah yang membahas tentang
sifat-sifat Tuhan :
1. Ja’ad bin
Dirham.
Dia berpendapat bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat. Artinya, Tuhan tidak dapat diberikan sifat-sifat yang dapat
disandarkan kepada makhluk, seperti sifat kalam atau lawannya (bisu).
Sebab, kedua sifat ini dapat disandang oleh manusia.
2. Abd
al-Jabbar.
Dia perpendapat bahwa Tuhan tak
mengambil tempat dan dengan demikian tak dapat di lihat, karena yang dapat di
lihat hanyalah yang mengambil tempat[4].
Dan juga kalau tuhan dapat di liahat dengan mata kepala, Tuhan akan dapat di
lihat sekarang dalam alam ini juga[5].
Dan tak ada orang yang melihat Tuhan di alam ini.
3. Jahm ibn
Shafwan.
Dia juga berpendapat bahwa Tuhan
tidak memiliki sifat. Ia pernah terlibat perdebatan dengan Muqatil, Muqatil
termasuk orang yang mengakui sifat-sifat Tuhan, sedang Jahm tidak. Keduanya
terlibat perbedaan sengit. Hal ini dapat dilihat dari komentar Abu Hanifah
berikut ini:
Jahm sangat berlebihan dalam
meniadakan tasybih sehingga ia menyatakan Tuhan bukan apa-apa. Sementara
lawannya, Muqatil, berlebih-lebihan pula dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan
sehingga ia menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan
tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Sebab,hal ini dapat
menimbulkan keserupaan Tuhan dengan makhluk (tasybih). Ia meniadakan
sifat hayat dan ilmu Tuham, tetapi ia mengakui bahwa Tuhan
Mahakuasa, Pelaku, dan Pencipta. Sifat-sifat yang terakhir ini diterima Jahm
karena menurut pendapatnya, tidak ada makhluk yang memiliki sifat-sifat itu.
Selain sifat-sifat diatas, Jahm, menurut al-Bagdadi, juga mengakui bahwa Tuhan
adalah Pemberi wujud (al-Mujid), Memberi hidup (al-Muhyi), dan
Mematikan (al-Mumit).
Konsisten dengan pendapatnya
tentang nafy al-shifat, jahm berusaha menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang
memberi pengertian adanya sifat-sifat Tuhan. Jahm cenderung pada penyucian
tuhan dari sifat-sifat makhluk (tanzih).
3. Sifat
Tuhan Menurut Perspektif Ahlus sunah wal
Jamaah Sifat-sifat
Allah adalah sifat sempurna yang yang tidak terhingga bagi Allah.
Sifat-sifat Allah wajib bagi setiap muslim mempercayai bahwa terdapat beberapa
sifat kesempurnaan yang tidak terhingga bagi Allah[6].
Maka, wajib juga dipercayai akan sifat Allah yang dua puluh dan perlu diketahui
juga sifat yang mustahil bagi Allah. Sifat yang mustahil bagi Allah merupakan
lawan kepada sifat wajib. Sifat wajib terbagi empat bagian yaitu nafsiah,
salbiah, ma'ani atau ma'nawiah.
Sifat 20
Sifat
kesempurnaan
Dua puluh sifat yang tertera di atas yang wajib bagi Allah
terkandung di dalam dua sifat kesempurnaan. Sifat tersebut adalah:
|
v PRINSIP-PRINSIP
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Ahlusssunnah wal Jama’ah
menyepakati prinsip-prinsip penting yang kemudian menjadi ciri dan inti dari
aqidah mereka. Setiap kelompok yang bertentangan dengan mereka berbeda dalam
satu atau beberapa prinsip, seperti yang akan kami bahas satu persatu.
ü Aqidah Ahlusssunnah wal Jama’ah
tentang sifat-sifat Allah: itsbat bilaa takyif (membenarkan tanpa mempersoalkan
bentuknya) dan mensucikan-Nya tanpa mengingkari-Nya.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah menetapkan
aqidah mereka tentang Al-Qur’an : Al Qur’an Kalamullah, bukan makhluk.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah menyakini
bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapa pun di dalam kehidupan dunia.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah bersepakat
bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di surga dengan kedua mata
mereka.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah mengimani
semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rasulullah.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah mengimani
Qadar Allah dengan segala tingkatnya.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah
berpendapat: iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah menyakini
bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang). Iman seorang tidak
terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan. Oleh karenanya, mereka
tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali
jika terlepas pokok keimanannya.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah bersepakat
terhadap kemungkinan berkumpulnya antar siksa dan pahala pada diri seseorang.
Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu kecuali
dengan dalil khusus.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah mencintai
dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan istri-istri Rasul tanpa menyakini
adanya kema’shuman terhadap siapa pun kecuali Rasulullah.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah membenarkan
adanya karomah para wali dan kejadian luar biasa yang dberkan Allah kepada
mereka.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah bersepakat
untuk memerangi siapa pun yang keluar dari syari’at Islam, sekalipun ia
mengucapkan dua kalimat syahadat.
ü Ahlusssunnah wal Jama’ah berperang
bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik maupun durhaka,
demi menegakan syari’at Islam.[7][4]
Keseluruhan
prinsip-prinsip yang telah kami sebutkan dimuka itu adalah merupakan prinsip
yang berasaskan Al-Qur’an sehingga hal tersebut bersifat qoth’i baginya.
[1] Maqalat,
II/176.
[2] Ibid.,
II/178
[3]
Al-An’am (60-104. Artinya: Penglihatan tak dapat menangkap-Nya, tetapi Ia dapat
menangkap penglihatan. Ia adalah
Mahahalus, tetapi Mahatahu.
[4] Al-Usul,
248-252.
[5] Syarh,
16 dan Usul al-Din, 22.
[6]
Muhammad al-Ghazali, Aqidah al-Muslim, (Kuwait: Darul Bayan, 1963).